Friday, May 20, 2005

Adakah manusia super?

Pertanyaan itu sempat menari-nari dalam benakku beberapa waktu yang lalu. Namun kemudian meredup dan terlupakan. Sampai dengan hari ini (20/05), seorang teman menanyakan sesuatu yang membuatku teringat lagi akan hal itu.

Jadi, adakah manusia super? Bagaimana menurutmu? Masih relevankah ke-super hero-an dalam realitas hidup masa kini? Mungkinkah seseorang benar-benar menjadi manusia super?

Aku teringat pada masa-masa saat kurasa waktuku benar-benar bukan milik diri ini sendiri. Kadang-kadang aku merasa iri pada teman-teman lain yang bisa menghabiskan waktu untuk kepentingan pribadinya. Belajar sesuai SKS, bercengkrama dengan keluarga, ikut les-les bahasa atau alat musik, dan masih sempat jalan-jalan dengan teman, atau bahkan silaturahmi ke rumah saudara dan teman-teman lama.

Kala itu, bila semangatku mengendur dan langkah ini mulai terasa berat, pastilah aku akan dinasehati. ”Kita ini manusia super! Memang tidak sama dengan yang lain. Saat kamu memilih jalan ini ada konsekuensi yang harus dibayar.” Biasanya setelah itu, kemudian kuperbaiki semangat dalam dada ini dan kembali kulangkahkan kaki dengan langkah-langkah panjang dan cepat. Melupakan semua kemanusiaanku dan mencoba berubah wujud menjadi manusia super.

Banyak yang harus dilewatkan. Salah satu contoh adalah melewatkan kemesraan dengan keluarga. Dulu aku amat sangat jarang meluangkan waktu dengan mereka. Akhir pekan adalah waktu rapat, koordinasi, atau eksekusi program. Mana mungkin aku menyempatkan diri untuk pulang kampung? Begitu pikirku dulu. Bahkan pada akhir pekan yang panjang pun aku masih tetap berada di Bandung saat teman-teman dengan gembiranya menceritakan rencana mudik mereka. Libur semester? Cuma satu kali aku menikmati libur semester sesungguhnya, yaitu saat aku masih tingkat 1. Setelah itu, paling lama aku akan pulang 4-5 hari saja. Ayahku berkali-kali mengeluhkan hal ini, bahkan pada suatu ketika ia pernah berkata ”Kamu kalau Papa minta pulang pasti ada aja alasannya”, yang sungguh membuatku miris.

Dengan teman-teman seangkatanku juga begitu. Tanpa terasa banyak hal yang kulewatkan sehingga membuatku sering tertinggal berita. Hal ini baru kusadari sepenuhnya saat tahun terakhir di kampus ITB (Insya Allah :P). Seringkali aku hanya dapat menghadiri acara-acara serius dan tidak memprioritaskan acara-acara keakraban di antara kami. Akibatnya aku banyak tidak aware dengan keadaan teman-teman. Mungkin kalau secara umum masih dapat mengikuti, tapi tidak secara khusus person per person.

Dalam kuliah.... hm... tahu sendiri lah... Kalau dibandingkan dengan teman-teman yang lain kemampuan akademikku termasuk standar. Eksplorasi yang kulakukan terhadap bidang studi juga tidak banyak. Nilai-nilaiku pun tak istimewa.

Sekarang, setelah aku berada di tingkat 4, aku kembali memikirkan semua hal di atas. Dan akhirnya kusadari bahwa aku telah melakukan kesalahan. Terlepas dari ada tidaknya manusia super, adalah tidak benar menanggalkan kemanusiaan seseorang dari dirinya.

Pada beberapa bulan terakhir ini kucoba memperbaiki beberapa hal. Hubungan dengan keluarga misalnya. Aku tidak pernah bermaksud mengabaikan mereka dari hidupku. Kepada merekalah aku akan kembali setelah ini Setidaknya aku ingin mereka tahu bahwa aku peduli dan benar-benar mencintai mereka. Alhamdulillah hal ini sudah semakin membaik hari demi hari.

Secara akademik, boleh dikatakan prestasiku meningkat drastis. Dan aku merasa lebih memahami apa yang sebenarnya kupelajari dari kuliah dibanding dahulu. Aku berusaha agar perasaan menyesal seperti ”aku dapet nilai jelek bukan karena bodoh atau kuliahnya emang aku gak bisa, melainkan cuma karena gak cukup belajar. Kalo aku bener-bener belajar, A mah kepegang” tak lagi menghantuiku.

Sedangkan yang paling sulit memang adalah memasuki dunia teman-teman seangkatanku yang lain. Mungkin aku sudah terlalu lama pergi sehingga kehilangan jejak dan tak bisa mengejar rombongannya. Memperbaiki hubungan dengan 83 orang lainnya memang bukan hal yang dapat dilakukan dalam sekejap mata. Semoga saja masih sempat kulakukan sebelum tiba masanya perpisahan kami. Amien.

Dan akhirnya, perenungan ini juga ditambah dengan beberapa hal lain yang menggelitik pemikiranku.

Keberadaanku di ambang masa pasca kampus juga membuat mata ini dapat melihat fenomena manusia-manusia super, yang ternyata tak sesuper dugaanku saat mereka harus berhadapan dengan realitas kehidupan. Saat di mana role model mu membuat pilihan-pilihan yang terasa tidak masuk akal dalam logika ke-super-an. Mengacaukan segala definisi super dalam kepalamu.

Mungkinkah bahwa yang kukira super lurus ternyata adalah kekakuan semata yang berada pada tempat yang tidak sesuai?

Aku tidak tahu apakah diriku memang salah didikan dalam memaknai ke-super-an, ataukah memang kita semua benar-benar cuma manusia biasa? Jika kita memang manusia biasa, seharusnya kita tak perlu malu untuk mengenakan pakaian kemanusiaan dengan tetap berlomba-lomba berbuat kebajikan. Bukankah itu esensi sesungguhnya? Karena kita manusia. Dengan aksi setajam pedang, tapi bukanlah pedang. Dengan kecepatan seperti peluru, tapi bukanlah peluru. Punya rasa, punya hati.


1 Comments:

At 1:50 AM, Anonymous Anonymous said...

ajari saya menjadi manusia super seperti anda..

 

Post a Comment

<< Home