Wednesday, May 25, 2005

Selamat Datang Pecundang-Pecundang Terbaik Bangsa!

Apakah judul di atas mengingatkanmu akan sesuatu?

Kalau kamu anak ITB pastilah masih ingat dengan baligho dan spanduk besar yang pernah menyambutmu dan seluruh mahasiswa lainnya, saat kalian pertama kali menginjakkan kaki di Kampus Ganesha.

”Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa!”
begitu bunyinya. Spanduk yang membangkitkan bibit-bibit kearoganan dalam diri mahasiswa baru ITB.

Tak berapa lama yang lalu, aku mendengar seorang alumni mengucapkan kalimat yang serupa tapi tak sama..kalimat yang akhirnya kugunakan sebagai judul tulisan ini.

”Selamat Datang Pecundang-Pecundang Terbaik Bangsa!”
Menurutnya, itulah kalimat yang paling sesuai untuk dicantumkan dalam spanduk penyambutan mahasiswa baru. Keras dan menghantam ego setiap orang yang membacanya. Memaksa jiwa-jiwa pembaharu terlahir di kampus perjuangan, dan bukan membuai setan dalam diri kita.

Mungkin benar apa yang alumni itu katakan. Indikasi apa yang membuat mahasiswa baru yang belum lagi teruji ketangguhannya, belum juga memperjuangkan idealismenya, dan belum pula melakukan sesuatu yang kongkret, berhak menyandang gelar ”Putra-Putri Terbaik Bangsa” ??

Seharusnya kita malu.

Aku malu. Sampai sekarang pun aku masih bertanya-tanya apa yang telah kulakukan...setelah 4 tahun berkutat di kampus gajah ini.... yang membuatku layak menerima sambutan seperti itu dulu? Tidak ada. Nol. Zero.


Friday, May 20, 2005

Adakah manusia super?

Pertanyaan itu sempat menari-nari dalam benakku beberapa waktu yang lalu. Namun kemudian meredup dan terlupakan. Sampai dengan hari ini (20/05), seorang teman menanyakan sesuatu yang membuatku teringat lagi akan hal itu.

Jadi, adakah manusia super? Bagaimana menurutmu? Masih relevankah ke-super hero-an dalam realitas hidup masa kini? Mungkinkah seseorang benar-benar menjadi manusia super?

Aku teringat pada masa-masa saat kurasa waktuku benar-benar bukan milik diri ini sendiri. Kadang-kadang aku merasa iri pada teman-teman lain yang bisa menghabiskan waktu untuk kepentingan pribadinya. Belajar sesuai SKS, bercengkrama dengan keluarga, ikut les-les bahasa atau alat musik, dan masih sempat jalan-jalan dengan teman, atau bahkan silaturahmi ke rumah saudara dan teman-teman lama.

Kala itu, bila semangatku mengendur dan langkah ini mulai terasa berat, pastilah aku akan dinasehati. ”Kita ini manusia super! Memang tidak sama dengan yang lain. Saat kamu memilih jalan ini ada konsekuensi yang harus dibayar.” Biasanya setelah itu, kemudian kuperbaiki semangat dalam dada ini dan kembali kulangkahkan kaki dengan langkah-langkah panjang dan cepat. Melupakan semua kemanusiaanku dan mencoba berubah wujud menjadi manusia super.

Banyak yang harus dilewatkan. Salah satu contoh adalah melewatkan kemesraan dengan keluarga. Dulu aku amat sangat jarang meluangkan waktu dengan mereka. Akhir pekan adalah waktu rapat, koordinasi, atau eksekusi program. Mana mungkin aku menyempatkan diri untuk pulang kampung? Begitu pikirku dulu. Bahkan pada akhir pekan yang panjang pun aku masih tetap berada di Bandung saat teman-teman dengan gembiranya menceritakan rencana mudik mereka. Libur semester? Cuma satu kali aku menikmati libur semester sesungguhnya, yaitu saat aku masih tingkat 1. Setelah itu, paling lama aku akan pulang 4-5 hari saja. Ayahku berkali-kali mengeluhkan hal ini, bahkan pada suatu ketika ia pernah berkata ”Kamu kalau Papa minta pulang pasti ada aja alasannya”, yang sungguh membuatku miris.

Dengan teman-teman seangkatanku juga begitu. Tanpa terasa banyak hal yang kulewatkan sehingga membuatku sering tertinggal berita. Hal ini baru kusadari sepenuhnya saat tahun terakhir di kampus ITB (Insya Allah :P). Seringkali aku hanya dapat menghadiri acara-acara serius dan tidak memprioritaskan acara-acara keakraban di antara kami. Akibatnya aku banyak tidak aware dengan keadaan teman-teman. Mungkin kalau secara umum masih dapat mengikuti, tapi tidak secara khusus person per person.

Dalam kuliah.... hm... tahu sendiri lah... Kalau dibandingkan dengan teman-teman yang lain kemampuan akademikku termasuk standar. Eksplorasi yang kulakukan terhadap bidang studi juga tidak banyak. Nilai-nilaiku pun tak istimewa.

Sekarang, setelah aku berada di tingkat 4, aku kembali memikirkan semua hal di atas. Dan akhirnya kusadari bahwa aku telah melakukan kesalahan. Terlepas dari ada tidaknya manusia super, adalah tidak benar menanggalkan kemanusiaan seseorang dari dirinya.

Pada beberapa bulan terakhir ini kucoba memperbaiki beberapa hal. Hubungan dengan keluarga misalnya. Aku tidak pernah bermaksud mengabaikan mereka dari hidupku. Kepada merekalah aku akan kembali setelah ini Setidaknya aku ingin mereka tahu bahwa aku peduli dan benar-benar mencintai mereka. Alhamdulillah hal ini sudah semakin membaik hari demi hari.

Secara akademik, boleh dikatakan prestasiku meningkat drastis. Dan aku merasa lebih memahami apa yang sebenarnya kupelajari dari kuliah dibanding dahulu. Aku berusaha agar perasaan menyesal seperti ”aku dapet nilai jelek bukan karena bodoh atau kuliahnya emang aku gak bisa, melainkan cuma karena gak cukup belajar. Kalo aku bener-bener belajar, A mah kepegang” tak lagi menghantuiku.

Sedangkan yang paling sulit memang adalah memasuki dunia teman-teman seangkatanku yang lain. Mungkin aku sudah terlalu lama pergi sehingga kehilangan jejak dan tak bisa mengejar rombongannya. Memperbaiki hubungan dengan 83 orang lainnya memang bukan hal yang dapat dilakukan dalam sekejap mata. Semoga saja masih sempat kulakukan sebelum tiba masanya perpisahan kami. Amien.

Dan akhirnya, perenungan ini juga ditambah dengan beberapa hal lain yang menggelitik pemikiranku.

Keberadaanku di ambang masa pasca kampus juga membuat mata ini dapat melihat fenomena manusia-manusia super, yang ternyata tak sesuper dugaanku saat mereka harus berhadapan dengan realitas kehidupan. Saat di mana role model mu membuat pilihan-pilihan yang terasa tidak masuk akal dalam logika ke-super-an. Mengacaukan segala definisi super dalam kepalamu.

Mungkinkah bahwa yang kukira super lurus ternyata adalah kekakuan semata yang berada pada tempat yang tidak sesuai?

Aku tidak tahu apakah diriku memang salah didikan dalam memaknai ke-super-an, ataukah memang kita semua benar-benar cuma manusia biasa? Jika kita memang manusia biasa, seharusnya kita tak perlu malu untuk mengenakan pakaian kemanusiaan dengan tetap berlomba-lomba berbuat kebajikan. Bukankah itu esensi sesungguhnya? Karena kita manusia. Dengan aksi setajam pedang, tapi bukanlah pedang. Dengan kecepatan seperti peluru, tapi bukanlah peluru. Punya rasa, punya hati.


Thursday, May 19, 2005

Two Big Books

Books..books…books… ada banyak macam buku yang suka kubaca, tapi kali ini aku ingin menulis mengenai dua buku yang cukup ‘spesial’. Spesial bukan karena they’re my favourite.. melainkan karena banyak sekali orang yang membicarakannya di luar sana, dan tidak jarang aku melihat, bertemu, atau bahkan mencuri pandang :P orang yang sedang membawanya.

Salah satunya adalah novel karangan Dan Brown. Ya, Dan Brown si penulis Da Vinci Code, sebuah novel thriller-seni-religi yang menghebohkan dunia bahkan sampai saat ini. Tapi bukan karya fenomenal itu yang ingin kubicarakan. Melainkan novel terdahulu Dan Brown. Ditulis kurang lebih tiga tahun sebelum Da Vinci Code. Yup, it’s Angels & Demons that i’m talking about :)

Sebenarnya aku agak kecewa setelah membaca DVC, endingnya kurang menggigit. Rasanya seperti naik roller coaster yang sangat curam dengan kecepatan super tinggi dari awal, tapi kemudian melambat... semakin melambat... and next thing you know... kamu berakhir di atas sebuah gondola di Venesia... Membosankan. Mungkin saran temanku memang tepat untuk ”mempersatukan” Dan Brown yang sangat konspiratif dan historikal tapi tumpul di ending, dengan Agatha Christie yang seringkali menulis ending secara brillian dan unpredictable. Hm... apa jadinya yah kalau ada novel duet? He..he..

Namun begitu, setelah mendengar banyak orang membicarakan Angel & Demons, mau tidak mau insting ’ingin membaca’ ku mulai tergugah untuk menilik karya Mr. Brown yang satu ini. Penasaran jadinya, apa sih isinya? Apa memang sebagus yang dikatakan orang-orang atau.... ini sekedar fenomena tipping point? :P

Beberapa kali kurencanakan untuk membeli atau mencari pinjaman novel ini, namun karena memang bukan prioritas, seringkali pula terlupa. Sampai pada akhir pekan yang lalu aku melihat edisi original novel itu di Periplus Book Store. Ehm..very tempting... Harus kuakui bahwa buku itu nampak menggoda sekali untuk dibeli. Untung saja otak kiriku masih bekerja keras menghitung jumlah rupiah yang bisa kuhemat bila membeli edisi bahasa indonesianya saja.

Setelah berhasil menahan diri tidak membeli edisi original, ternyata godaan untuk membaca buku itu semakin tak tertahankan. Akhirnya hari Senin yang lalu kuputuskan untuk membeli the Indonesian version. Fiuh…senangnya…. Bukan cuma karena akhirnya bisa membaca novel itu, melainkan karena dari selisih harga versi indonesia dengan yang asli, aku masih bisa mendapatkan buku Tarbiyah Hasan Al Banna plus kembalian sebesar tiga belas ribu rupiah… he..he.. perhitungan banget yah?? ;)

Oke, berikutnya aku menghabiskan kurang lebih 10 jam berkutat dengan novel super tebal yang merupakan cetakan ke tujuh itu (wauw, ternyata aku memang benar-benar terlambat ya membacanya. Kalau dibandingkan dengan DVC yang kumiliki, yang merupakan cetakan pertama edisi Indonesia), tidak termasuk waktu sholat, makan, dll. Penasaran rasanya ingin cepat menamatkan. Walau mata dan fisikku sudah agak lelah sisa UAS sostekin sore harinya, tetap saja kubuka terus lembar demi lembar.

Dan, taraaa.. keesokan harinya selesai juga.. fiuh... :)

Hm... satu kalimat yang terlintas di benakku setelah selesai membacanya ”aku paham kenapa DVC lah yang lebih dulu populer daripada Angels & Demons, padahal A&D diterbitkan lebih awal”. Alasannya, mungkin karena DVC tampil lebih matang dan tidak terjebak pada scene-scene yang enggak penting dan membosankan. Beberapa kali aku sempat merasa bosan membaca A&D (mungkin juga karena pengaruh letih), padahal rasa itu tak pernah kudapatkan saat membaca buku yang benar-benar menarik.

Selain itu, menurutku DVC lebih elegan dalam membahasakan ceritanya. Aku sangat menyayangkan sedikit bumbu seksualitas yang tersamar pada A&D. Untung saja enggak terjerembab jadi Biru-nya Fira Basuki (no offense :P).

Walau begitu, kuakui bahwa A&D memiliki jalan cerita yang lebih pelik, daaaan.. ending yang lebih menggigit daripada DVC. Aku sempat terjebak pada pemikiran ”hm....ternyata ini cuma novel religi katolik berkedok petualangan ”. Sempat kukira pula ini adalah semacam permintaan maaf Mr. Brown kepada pihak-pihak yang merasa tersinggungg atas DVC. Tapi setelah mengingat bahwa A&D ditulis jauh sebelum DVC...pemikiran itu jadi tampak tidak relevan. Dan akhirnya keanehan itupun ”dijawab” di akhir cerita. Sekali lagi Mr. Brown menunjukkan keberaniannya membuat urat syaraf beberapa pihak menegang.

Intinya, menurutku buku itu bagus. Tapi, aku tidak berniat memasukkannya dalam daftar buku favorit, dan juga tidak tertarik untuk merekomendasikannya ke orang lain. Masih banyak buku bagus yang lain ;) Buat yang enggak sependapat, hm...mungkin beda selera aja kali ya.. :) It’s OK kan..

Buku kedua yang ingin kubicarakan jugalah sebuah novel, maaf ya kalau terkesan enggak bermutu, ”novel mulu sih” :P

Kebetulan masih berkisar novel religi. Pasti sebagian besar teman-temanku sudah pernah membacanya atau minimal pernah melihat deh. Novel ini sebenarnya merupakan cerita bersambung yang pernah dimuat di harian umum Republika. Nah, sudah ketebak pastinya ya. It’s ”Ayat-ayat Cinta”.

Pertama kali ku mendengar novel ini dari seorang teman dekat. Waktu itu aku agak heran karena tiba-tiba dia seperti bersikeras untuk meminjamiku novel tersebut

”bagus deh, nanti aku pinjemin”
.. tumben gitu loh.. :D

Tapi beberapa lama dia lupa membawanya. Aku tidak terlalu penasaran sih. Toh aku juga memang enggak tahu novel apa itu. Sampai pada satu kesempatan aku sedang melihat-lihat di lapak buku bang Irfan di Gelap Nyawang. Dan aku melihat buku itu ’nangkring’ di tengah-tengah buku yang lain. Daaaan, seperti bisa ditebak, akhirnya aku pun membawanya pulang. Itu terjadi sekitar 3-4 bulan yang lalu.

Kudapati banyak sekali orang menyukai novel yang satu itu, entah kenapa. Menurutku, memang sangat menyenangkan membaca kalimat demi kalimat dalam novel karangan Habiburrahman El Shirazy itu. Masih terasa panasnya gurun sahara, keringnya tenggorokan pada siang hari di Mesir, dan segarnya ashir mangga.. hm... :P~ Cantik sekali cara penulis mengalirkan jalan cerita. Sederhana. Namun manis terasa.

Dari segi penulisan memang tidak ada yang mengecewakan. Namun, aku cukup kecewa dari sisi lain, yang sayangnya merupakan sisi terpenting dari sebuah cerita fiksi, yaitu jalan cerita.

Agak tidak masuk akal dan tak realistis menurutku, atau kalau boleh kusebut sebagai ’an iritating imagination’. Hm...semoga tidak terlalu kejam. Tidak realistis karena penulis membuat sebuah karakter dengan kehidupan yang sungguh sempurna. Sempurna karena Fahri, si tokoh utama, diceritakan sebagai seorang laki-laki yang secara kebetulan ”dianugrahi” cinta dari seluruh tokoh wanita muda di novel itu. Kuamati bahwa satu-satunya tokoh wanita yang tidak jatuh cinta dengannya adalah tokoh figuran bernama Farah. Rasanya sungguh tidak masuk akal. Belum lagi karena tiba-tiba seorang wanita Turki cuantik dan luar biasa kuaya, yang baru dikenalnya dalam metro (semacam kereta api), menawarkan diri untuk menikah dengan si tokoh utama ini. Oh, cukup sudahlah segala omong kosong ini.

Tidak bermaksud pedas, tapi memang itulah pendapat yang kurasakan setelah membaca AAC. Seakan-akan inti cerita novel ini adalah refleksi impian setiap lelaki. Ceritanya dia hanya seorang lelaki sederhana yang tidak pede untuk melamar wanita manapun, namun tiba-tiba seluruh wanita jatuh cinta padanya, kemudian dia mendapatkan istri sempurna VERSI LAKI-LAKI, cantik dan kaya. Bahkan saat ’cobaan’ menerpanya, dengan segala kejanggalan diapun diangkat dari sana, dan seperti perkiraan semua orang................ ceritanya berakhir dengan bahagia.

Duh, please dong. Life isn’t that simple.

Padahal dari segi lain, novel ini sungguh merupakan perwujudan novel religius Islami yang sungguh menggugah jiwa. Catatan kaki yang diturutkan penulis juga menunjukkan niat mulianya untuk mendidik selain menghibur. Namun mengapa novel itu harus dibumbui dengan segala angan-angan yang terkesan ’maksa’.

Bahkan aku sempat khawatir kalau banyak orang yang membacanya akan berasumsi bahwa itulah gambaran kehidupan seorang aktivis (tokoh utama dalam novel itu dapat dikatakan seorang ’aktivis’). Penuh dengan keindahan yang tak terbayangkan sebelumnya. Padahaaal... hm... setauku jalan itu adalah jalan yang penuh onak dan duri. Aku sering melihat orang-orang yang mengorbankan mimpi-mimpi indah keduniawian mereka untuk digadaikan dengan idealisme.

Begitu khawatirnya, sampai-sampai aku meng-add yahoo ID si penulis buku dalam Ym! ku. Walau sayang ternyata dia suangat uamat juarang on line. Mungkin juga karena yahoo ID tersebut hanya dipakai untuk berhubungan dengan pembaca novelnya. Pernah suatu kali dia online (benar-benar cuma satu kali selama ini), namun aku terlalu bingung untuk memulai percakapan

”Halo saya pembaca novel Anda, saya rasa isi ceritanya terlalu memperpanjang angan. Sangat mengkhawatirkan”
, enggak mungkin kan? ~~ Akhirnya, daripada stress... kutuangkan saja perasaan dalam blog ini. Hehe, becanda deng :P

Nah selesai deh membahas dua novel. Mohon maaf untuk yang tidak sependapat. But i’m not gonna change my opinion, peace! ^^